Di sebuah rumah sederhana yang dihuni
oleh Tata dan Bu Manti, janda tua penjual nasi kuning di pasar dan anak
gadisnya yang baru saja beranjak ke kelas 8. Kehidupan mereka sangat pas-pasan
setelah ditinggal oleh ayahnya.
Bu Manti berkata, “Nak, hari
ini Ibu kurang enak badan. Jadi, nanti tolong antarkan nasi kuning ini ke pasar
sebelum kamu berangkat sekolah.”, sambil batuk-batuk dan tampak pucat pasi.
Tata menjawab, “Iya Bu. Akan saya antarkan nasi kuning itu. Obatnya sudah diminum?” . Bu Manti yang tampak lesu hanya
menggeleng, “Dengan apa ibu membeli obat tersebut? Jangankan obat, untuk sesuap
nasi saja kita harus bersyukur. Sudahlah, jangan dipikir. Ayo cepat
berangkat!”. Dengan sepeda mininya Tata bergegas berangkat dan meletakkan di
kerenjangnya sekantong kresek besar.
Tidak seperti biasanya
Tata datang terlambat. Dikarenakan ia harus mengantarkan beberapa bungkus nasi
kuning ke pasar. Mau tidak mau harus mengantarkan bungkusan tersebut jika ia
ingin makan untuk esok.
Sesampainya di kelas ia
bertemu dengan Fafa, “Faf, hari ini tidak ada PR, kan?”, tanya Tata dengan muka
gugup. Fafa pun menjawab, “Tidak. Ta, Ibu mu sakit lagi? Kok kamu datang
terlambat?”, sambil memegang tangan Tata. Tata dengan sedih menjawab, “Iya,
sudah seminggu ini ibuku batuk-batuk yang tak kunjung sembuh.” Fafa memberikan bantuan,
“Jangan sedih ya! Aku punya obat dari ayahku, bawa saja!,” sambil menyodorkan
seplastik tablet obat milik ayahnya di klinik. Tata membalas seraya tersenyum
riang, “Terimakasih ya!”.
Bel istirahat pertama
berdering, para siswa riang gembira menyambutnya. Setelah menaklukkan materi
pelajaran yang cukup melelahkan mereka berhamburan keluar kelas dan bergerombol
untuk segera menuju kantin. Berbagai macam makanan ringan dan aneka minuman
tersedia. Tinggal meletakkan selembar kertas alat transaksi atau logam di kotak
pembayaran mereka bisa mengambil makanan atau minuman, karena kantin di sekolah
Tata adalah kantin kejujuran . Sedangkan
siswa lain yang beragama Islam, tidak kedatangan tamu dari bulan, dan tentunya
niat segera bergegas ke masjid untuk menunaikan sholat duha. Namun ada juga
yang dikejar-kejar oleh Pak Sumaji hingga naik pohon mangga agar mau sholat. Di
perpus juga ramai dikunjungi para kutu buku.
Di dekat lapangan basket tampak
Tata yang termenung karena tidak mempunyai uang saku, dia hanya bisa memandangi
orang berlalu-lalang dengan segenggam snack, nasi bungkus, jus jambu, sebotol
es jeruk, dll. Tata bergumam, “Sepertinya enak ya ! Seandainya aku punya uang.
Padahal Mbak Nine sudah menyisihkan seplastik es teh untukku.” Seru Tata seraya
mengecapkan bibir mungilnya dan menunduk.
Tiba-tiba Yega
menghampirinya seraya berkata, “Ta, ada surat titipan dari Febe!”, kata Yega
sambil mengulurkan secarik kertas. Tatapun segera menjawab, “Oh! Terimakasih
ya!”. Tata segera membaca kata per kata dari isi surat tersebut.
Ta,
jujur ya ! Sebenarnya apa salahku sama kamu ? Kenapa kamu selalu menganggapku
sebagai sainganmu? Setiap apa yang kuinginkan selalu tak sama denganmu. Kalau
memang kamu benci sama aku, kenapa tidak kamu bilang dari dulu. Semua
kata-katamu itu omong kosong.
Seketika butiran air mata
Tata bergulir perlahan membasahi pipinya. “Kenapa Febe marah sama aku? Aku
tidak pernah menganggap dia sebagai sainganku. Kita seorganisasi, apa gunanya
juga buatku. Dia terburu-buru mengambil kesimpulan”, gumamnya yang tengah
terisak-isak. Yega pun meyodorkan bahunya untuk tempat Tata bersandar, “Ta,
mungkin dia lagi banyak masalah. Jangan diambil hati, nanti dibicarakan
baik-baik. Kita sebagai pelajar memang bersaing. Tapi bukan bersaing dalam ketenaran,
tapi dalam prestasi.” Tata menyaut, “Tapi Ga, dia menuduhku! Apapun bisa
terjadi.” Yega berusaha menegarkan Tata, “Ya sudah, untuk lebih jelasnya ayo
kita tanyakan pada Febe secara langsung supaya tidak terjadi kesalahpahaman!”.
Sambil menyeka air mata di
pipinya, Tata mengikuti seruan Yega. Namun ketika hendak melangkahkan kaki, bel
masuk pun berdenting. Dalam kelaspun konsentrasi Tata terpecah, hingga soal
yang mudahpun ia keserimpet. Lain hal dengan Febe, di kelas ia menampakkan
wajah sangar dan penuh dendam dengan Tata. Ia bergumam, “Huuh..Kenapa tak ku
keluarkan saja dia sebagai kandidat yang ikut lomba Agapala (Lomba Pramuka)!”.
Yegapun yang duduk di bangku depannya mendengar dan langsung menyaut, “Heh Feb,
kamu seharusnya konsisten. Jangan mencampurkan urusan pribadi dengan organisasi.”
Febe seketika menimpali, “Kamu tidak tahu apa-apa. Jangan sok jadi pahlawan!”.
Yega dengan rendah hati menjawab, “Ya sudah, aku tidak ikut campur!”
Hingga
bel pulang berdering, Tata dan Yega tak dapat menjumpai Febe. Sampai materi
pelajaran berakhirpun Tata nampak kehilangan asa. Sepulang sekolah, biasanya
diadakan latihan untuk persiapan Lomba Agapala, namun Tata tak kuat hati untuk
bertemu dengan Febe. “Faf, maaf ya aku hari ini atau bahkan seterusnya tidak
bisa latihan. Bagaimana aku mau latihan, kalau Ketuanya saja marah sama aku.”,
seru Tata pada Fafa. “Jangan begitu, kami tidak bermakna tanpa kamu.”, rayu
Fafa.
Tiba-tiba
Febe berlari menuju Tata dan Fafa, namun ada sebongkah batu bangunan yang
hendak menjatuhi Febe. Seketika Tata mendorong Febe hingga batu tersebut jatuh
tepat di sampingnya. Febe yang tangah malu karena telah berhutang budi meminta
maaf, “Maafkan aku! Kemarin aku terpancing emosi dengan gosip yang beredar.
Tata menjawab sambil menitikkan air mata, “Iya, kita memang lawan. Lawan dalam
prestasi. Namun kita satu tim, kamu partnerku!”. Fafa berkata, “Jangan hanya
karena masalah pribadi regu kita bubar.”, seraya tertawa. Tata dan Febe
akhirnya saling mengulurkan tangan dan berdamai. “Ayo kita beli es di Mbak Nine
.. !!!”, seru Febe sambil menggandeng tangan Tata dan Fafa. Mereka bertiga berlari
riang di siang yang panas itu. Pak Sumaji yang mengetahui hal tersebut
bergumam,”Wah namanya anak baru gede, hal kecil saja jadi berantem! Setelah itu
baikan lagi. Jadi seperti siklus hidrologi.”, seraya tersenyum dan bergegas
mengejar anak-anak nakal yang tak mau sholat Dhuhur berjama’ah di masjid
sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar